Kamis, 16 Mei 2013

Hegemoni dalam Wacana Bahasa Indonesia



A.    Pengertian Hegemoni
merupakan gagasan Antonio Gramsci (1891-1937) yang bersumber dari buku Selection from Prison Notebooks. Buku ini adalah catatan Gramsci selama dipenjara antara tahun 1929-1935. Teori hegemoni Antonio Gramsci menganalisa berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif hegemoni, akan terlihat bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa.
Hegemoni berasal bahasa Yunani, eugemonia yang berarti penguasa atau pemimpin. Secara ringkas, pengertian hegemoni adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.

Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Proses bagaimana wacana mengenai gambaran masyarakat bawah bisa buruk di media berlangsung dalam suatu proses yang kompleks. Proses marjinalisasi wacana itu berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Konsep hegemoni menolong kita menjelaskan bagaimana proses ini berlangsung.
Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui para korbannya, sehingga upaya itu berhasil dan mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Melalui hegemoni, ideology kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela.
Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Media di sini dianggap secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsesus bersama. Sementara nilai atau wacana lain dipandang sebagai menyimpang. Misalnya, pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang dikembangkan seringkali perlunya pihak buruh musyawarah dan kerja sama dengan pihak perusahaan. Dominasi wacana semacam ini menyebabkan kalau buruh melakukan demonstrasi selalu dipandang tidak benar.
Di sini menggambarkan bagaimana proses hegemoni bekerja. Ia berjalan melalui suatu proses atau cara kerja yang tampak wajar. Dalam produksi berita, proses situ terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan.
Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu kunci strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam.

B.     Bentuk Hegemoni
Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. (Simon, 2004:9) Cara kekerasan (represif/ dominasi) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya dilaksanakan dengan cara-cara halus, dengan maksud untuk menguasai guna melanggengkan dominasi. Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim.
Menurut Gramsci, faktor terpenting sebagai pendorong terjadinya hegemoni adalah faktor ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan, kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur dalam masyarakat.

C.    Fungsi Hegemoni
Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan “tidak hanya mengatur” masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual (Storey, 2003:172). Hegemoni di atur oleh mereka yang oleh Gramsci disebut “intelektual organic”. Mereka adalah tokoh moral dan intelektual yang secara dominan menentukan arah konflik, politik, dan wacana yang berkembang di masyarakat. Mereka bekerja untuk melanggengkan kekuasaan atas kelompok yang lemah. Dominasi “intelektual organic” diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai sebuah kekuasaan. Melalui berbagai media bahasa ditunjukkan hadirnya kekuasaan dan pengaturan hegemoni tersebut. Berbagai kebijakan negara, misalnya, disampaikan dalam bahasa “untuk kepentingan bangsa di masa mendatang” atau “demi kemandirian bangsa” telah menghegemoni masyarakat untuk senantiasa menerima berbagai keputusan negara, yang merugikan sekalipun. Misalnya, hegemoni bahasa politik digunakan oleh para politisi untuk membantu bagaimana bahasa digunakan dalam persoalan-persoalan (1) siapa yang ingin berkuasa, (2) siapa yang ingin menjalankan kekuasaan, dan (3) siapa yang ingin memelihara kekuasaan (Beard, 2000:2)
Fungsi lain hegemoni yakni,  menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu.  Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan  tidak hanya mengatur masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual (Storey, 2003:172).

D.    Keterkaitan Hegemoni dengan Bahasa
Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonik tertentu. Dalam konteks ini, tidak ada peluang dan ruang publik bagi agen masyarakat untuk berbuat lain di luar kerangka ideologi kelompok hegemonik.
Hegemoni di atur oleh mereka yang oleh Gramsci disebut “intelektual organic”. Mereka adalah tokoh moral dan intelektual yang secara dominan menentukan arah konflik, politik, dan wacana yang berkembang di masyarakat. Mereka bekerja untuk melanggengkan kekuasaan atas kelompok yang lemah. Dominasi “intelektual organik”  diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai sebuah kekuasaan. Melalui berbagai media bahasa ditunjukkan hadirnya kekuasaan dan pengaturan hegemoni tersebut. Berbagai kebijakan negara, misalnya, disampaikan dalam bahasa untuk kepentingan bangsa di masa mendatang, atau demi kemandirian bangsa, telah menghegemoni masyarakat untuk senantiasa menerima berbagai keputusan negara, yang merugikan sekalipun.

E.      Contoh Hegemoni
Sebagai contoh lagi dapat kita lihat dari agen hegemoni kapitalis yang membuat masyarakat Indonesia terhegemoni untuk mengkonsumsi mie instan sebagai makanan sehari-hari, bahkan pengganti nasi (melalui proses marketing sebagai jalur hegemoni), padahal Indonesia tidak memiliki pertanian gandum yang menjadi bahan bakunya, dan disitu tertulis bermerk Indomie bahkan dipadu dengan selera nusantara, dan ini tentu membuat Negara-negara penghasil gandum seperti Amerika Serikat dapat menancapkan kukunya di Nusantara.
Hegemoni bahasa juga dapat kita saksikan dalam bahasa-bahasa media, baik cetak maupun elektronik. Pada Pemilu 1999, masyarakat kita sangat akrab dengan kampanye Gus Dur, ―maju tak gentar membela yang benar atau ―Golkar barunya Akbar Tanjung. Demikian pula, ketika pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak, kelompok dominan menghegemoni publik bahwa BJ Habibie adalah “anak kandung” Orde Baru. Kata-kata itu menjadi sangat sakti ketika berubah wujud menjadi opini publik. Media menggunakan bahasa sebagai alat untuk mempengaruhi khalayak.
            Contoh hegemoni dibidang ekonomi, pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar, adanya tempat makan fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Masyarakat sudah terbiasa dengan tiga hal yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan alasan modernisasi dan gaya hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket . Dibandingkan berbelanja dipasar atau warung-warung makan biasa. Tanpa mereka sadari berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket sangatlah tidak menguntungkan yang pertama dari segi biaya lebih mahal karena pihak mall atau fastfood atau supermaket memerluka biaya lebih besar, yaitu biaya pajak, gajih karyawan yang banyak, dan sewa tempat yang mahal. Memang benar berbelanja di tiga tempat itu praktis dan simpel, namun khususnya fastfood dari segi kesehatan tidak sehat. Namun, karena kita sudah terhegemoni kita tidak merasakan hal-hal tersebut. Bukankah kita tidak pernah menawar pada harga label yang diterakan oleh pihak mall, fasfood, atau waralaba?. Sedangkan ketika sesekali kita ke pasar, kita menawar semurah-murahnya harga yang para pedagang tawarkan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam negeri, kita lebih menyukai produk luar, Disinilah hegemoni bekerja merubah pola pikir kita tanpa kita sadari.
            Contoh hegemoni di bidang politik, dapat kita lihat dari media televisi. Hegemoni melalui media televisi di Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah, media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah. Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan yang ada diawasi oleh pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Sebaliknya, untuk media swasta, seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap  membahayakan posisi pemerintah, segera media itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.
            Dari sini, terlihat bagaimana media massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni politik yang sedang berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi, penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah, khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang berhasil dilancarkan eksekutif orde baru.
            Contoh hegemoni ideologi, sebenarnya dapat kita lihat pada pembahasan sebelumnya tentang ideologi. Namun kami akan memberikan dua contoh ideologi lagi, yang pertama ideologi liberalisme. Pada acara Selebrita In Action di Trans 7. Para pekerja acara Selebrita membuat sebuah video, yang berisikan penghegemonian ideologi liberalisme. Mereka menuliskan Cacian dan makian dari anda pesohor publik sambil menayangkan video beberapa artis yang menolak untuk diwawancara dengan atau tanpa kontak fisik. Menampakkan video betapa besar pejuangan mereka untuk mencari berita dari pagi hingga pagi lagi. Lalu diakhir rekaman mereka menuliskan Kami pembawa fakta bukan pembawa petaka. Nah, disini pihak wartawan atau penyampai berita mendominasi dengan membawa ideologi libaralisme atau kebebasan untuk mencari sebuah fakta. Sedangkan para artis yang menolak wawancara termarjinalkan. Pada rekaman ini pihak selebrita menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan benar, untuk mencari fakta (walaupun kenyataannya tidak selalu fakta yang mereka sampaikan), ini adalah kebebasan mereka untuk mencari berita. Tanpa menjelaskan apa yang menyebabkan para artis menolak wawancara, mungkin mereka lagi lelah habis syuting sampai pagi, mungkin mereka ingin privasi mereka tidak diumbar, atau mungkin mereka sedang pusing atas masalah mereka.

Bentuk hegemoni PN Timah yang terjadi di Belitong dijalankan dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif/dominasi) lebih lebih sering terjadi dibanding cara persuasif dilakukan PN Timah dan segala perangkat atribut kekuasaanya (Polsus Timah) terhadap strata bawah (kaum marginal).
Dominasi ekonomi akibat monopoli pengeksplotasian timah telah menjadikan PN Timah sebagai penguasa tunggal di wilayah Belitong. Kekuatan dan pengaruhnya mengakar hingga sampai tulang sungsum warga di luar komunitas Gedong. Gedong adalah representasi dan simbul kekuatan kapital PN Timah. Tembok panjang pembatas wilayah Gedong dan Urban adalah  bukti nyata dari sebuah hegemoni kekuasaan. Sebagai batas teritorial, tembok-tembok itu dijaga ketat oleh Polsus Timah, yang tak sembarang orang bisa melewatinya.


Eriyanto. 2011. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS Group





Tidak ada komentar:

Posting Komentar