A. Pengertian
Hegemoni
merupakan
gagasan Antonio Gramsci (1891-1937) yang bersumber dari buku Selection from
Prison Notebooks. Buku ini adalah catatan Gramsci selama dipenjara antara
tahun 1929-1935. Teori hegemoni Antonio Gramsci menganalisa berbagai relasi
kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif hegemoni, akan
terlihat bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan
alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa.
Hegemoni
berasal bahasa Yunani, eugemonia yang berarti penguasa atau pemimpin.
Secara ringkas, pengertian hegemoni
adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan
kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok
yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.
Antonio Gramsci membangun suatu teori
yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap
kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa
tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok
mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Proses bagaimana wacana
mengenai gambaran masyarakat bawah bisa buruk di media berlangsung dalam suatu
proses yang kompleks. Proses marjinalisasi wacana itu berlangsung secara wajar,
apa adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau
dimanipulasi oleh media. Konsep hegemoni menolong kita menjelaskan bagaimana
proses ini berlangsung.
Hegemoni menekankan pada bentuk
ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan
mengembangkan diri melalui para korbannya, sehingga upaya itu berhasil dan
mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Melalui hegemoni, ideology
kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat dipertukarkan.
Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru
terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela.
Salah satu kekuatan hegemoni adalah
bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang
dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Media di sini dianggap
secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang
dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga
menjadi konsesus bersama. Sementara nilai atau wacana lain dipandang sebagai
menyimpang. Misalnya, pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang
dikembangkan seringkali perlunya pihak buruh musyawarah dan kerja sama dengan
pihak perusahaan. Dominasi wacana semacam ini menyebabkan kalau buruh melakukan
demonstrasi selalu dipandang tidak benar.
Di sini menggambarkan bagaimana proses
hegemoni bekerja. Ia berjalan melalui suatu proses atau cara kerja yang tampak
wajar. Dalam produksi berita, proses situ terjadi melalui cara yang halus,
sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu
kebenaran, memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang
tidak perlu dipertanyakan.
Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa
dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik.
Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras,
umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan untuk
menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan.
Salah satu kunci strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam.
B. Bentuk
Hegemoni
Titik
awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu
kekerasan dan persuasi. (Simon, 2004:9) Cara kekerasan (represif/ dominasi)
yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan
dominasi, sedangkan cara persuasinya dilaksanakan dengan cara-cara halus,
dengan maksud untuk menguasai guna melanggengkan dominasi. Perantara tindak
dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan
hakim.
Menurut
Gramsci, faktor terpenting sebagai pendorong terjadinya hegemoni adalah faktor
ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan,
dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang
dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan,
kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan ketiga
kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur dalam masyarakat.
C. Fungsi
Hegemoni
Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan
adanya kelas dominan yang mengarahkan “tidak hanya mengatur” masyarakat melalui
pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual (Storey, 2003:172). Hegemoni di
atur oleh mereka yang oleh Gramsci disebut “intelektual organic”. Mereka adalah
tokoh moral dan intelektual yang secara dominan menentukan arah konflik,
politik, dan wacana yang berkembang di masyarakat. Mereka bekerja untuk
melanggengkan kekuasaan atas kelompok yang lemah. Dominasi “intelektual
organic” diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai sebuah kekuasaan. Melalui
berbagai media bahasa ditunjukkan hadirnya kekuasaan dan pengaturan hegemoni
tersebut. Berbagai kebijakan negara, misalnya, disampaikan dalam bahasa “untuk
kepentingan bangsa di masa mendatang” atau “demi kemandirian bangsa” telah
menghegemoni masyarakat untuk senantiasa menerima berbagai keputusan negara, yang
merugikan sekalipun. Misalnya, hegemoni bahasa politik digunakan oleh para
politisi untuk membantu bagaimana bahasa digunakan dalam persoalan-persoalan
(1) siapa yang ingin berkuasa, (2) siapa yang ingin menjalankan kekuasaan, dan
(3) siapa yang ingin memelihara kekuasaan (Beard, 2000:2)
Fungsi lain hegemoni yakni, menciptakan cara berpikir yang berasal dari
wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan
itu. Hegemoni dipergunakan untuk
menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan tidak hanya mengatur masyarakat melalui
pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual (Storey, 2003:172).
D. Keterkaitan
Hegemoni dengan Bahasa
Bahasa menjadi sarana penting untuk
melayani fungsi hegemonik tertentu. Dalam konteks ini, tidak ada peluang dan
ruang publik bagi agen masyarakat untuk berbuat lain di luar kerangka ideologi
kelompok hegemonik.
Hegemoni di atur oleh mereka yang oleh
Gramsci disebut “intelektual organic”. Mereka adalah tokoh moral dan intelektual
yang secara dominan menentukan arah konflik, politik, dan wacana yang
berkembang di masyarakat. Mereka bekerja untuk melanggengkan kekuasaan atas
kelompok yang lemah. Dominasi “intelektual organik” diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai
sebuah kekuasaan. Melalui berbagai media bahasa ditunjukkan hadirnya kekuasaan
dan pengaturan hegemoni tersebut. Berbagai kebijakan negara, misalnya,
disampaikan dalam bahasa untuk kepentingan bangsa di masa mendatang, atau demi
kemandirian bangsa, telah menghegemoni masyarakat untuk senantiasa menerima
berbagai keputusan negara, yang merugikan sekalipun.
E. Contoh Hegemoni
Sebagai
contoh lagi dapat kita lihat dari agen hegemoni kapitalis yang membuat
masyarakat Indonesia terhegemoni untuk mengkonsumsi mie instan sebagai makanan
sehari-hari, bahkan pengganti nasi (melalui proses marketing sebagai jalur
hegemoni), padahal Indonesia tidak memiliki pertanian gandum yang menjadi bahan
bakunya, dan disitu tertulis bermerk Indomie bahkan dipadu dengan selera
nusantara, dan ini tentu membuat Negara-negara penghasil gandum seperti Amerika
Serikat dapat menancapkan kukunya di Nusantara.
Hegemoni bahasa juga dapat kita
saksikan dalam bahasa-bahasa media, baik cetak maupun elektronik. Pada Pemilu
1999, masyarakat kita sangat akrab dengan kampanye Gus Dur, ―maju tak gentar
membela yang benar‖ atau ―Golkar barunya‖
Akbar Tanjung. Demikian pula, ketika pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak,
kelompok dominan menghegemoni publik bahwa BJ Habibie adalah “anak kandung” Orde
Baru. Kata-kata itu menjadi sangat sakti ketika berubah wujud menjadi opini
publik. Media menggunakan bahasa sebagai alat untuk mempengaruhi khalayak.
Contoh hegemoni dibidang ekonomi,
pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar, adanya tempat makan
fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Masyarakat sudah terbiasa dengan
tiga hal yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan alasan modernisasi dan gaya
hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan
supermaket . Dibandingkan berbelanja dipasar atau warung-warung makan biasa.
Tanpa mereka sadari berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket
sangatlah tidak menguntungkan yang pertama dari segi biaya lebih mahal karena
pihak mall atau fastfood atau supermaket memerluka biaya lebih besar, yaitu
biaya pajak, gajih karyawan yang banyak, dan sewa tempat yang mahal. Memang
benar berbelanja di tiga tempat itu praktis dan simpel, namun khususnya
fastfood dari segi kesehatan tidak sehat. Namun, karena kita sudah terhegemoni
kita tidak merasakan hal-hal tersebut. Bukankah kita tidak pernah menawar pada
harga label yang diterakan oleh pihak mall, fasfood, atau waralaba?. Sedangkan
ketika sesekali kita ke pasar, kita menawar semurah-murahnya harga yang para
pedagang tawarkan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam
negeri, kita lebih menyukai produk luar, Disinilah hegemoni bekerja merubah
pola pikir kita tanpa kita sadari.
Contoh hegemoni di bidang politik,
dapat kita lihat dari media televisi. Hegemoni melalui media televisi di
Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah,
media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah.
Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi
Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan
yang ada diawasi oleh pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang
menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat
untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Sebaliknya, untuk media swasta,
seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit
di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap membahayakan posisi pemerintah, segera media
itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke
penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa
hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.
Dari sini, terlihat bagaimana media
massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni politik yang sedang
berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya
bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi,
penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah,
khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era
reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa
masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan
terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas
masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang berhasil
dilancarkan eksekutif orde baru.
Contoh hegemoni ideologi, sebenarnya
dapat kita lihat pada pembahasan sebelumnya tentang ideologi. Namun kami akan
memberikan dua contoh ideologi lagi, yang pertama ideologi liberalisme. Pada
acara Selebrita In Action di Trans 7.
Para pekerja acara Selebrita membuat
sebuah video, yang berisikan penghegemonian ideologi liberalisme. Mereka
menuliskan Cacian dan makian dari anda
pesohor publik sambil menayangkan video beberapa artis yang menolak untuk
diwawancara dengan atau tanpa kontak fisik. Menampakkan video betapa besar
pejuangan mereka untuk mencari berita dari pagi hingga pagi lagi. Lalu diakhir
rekaman mereka menuliskan Kami pembawa
fakta bukan pembawa petaka. Nah, disini pihak wartawan atau penyampai
berita mendominasi dengan membawa ideologi libaralisme atau kebebasan untuk
mencari sebuah fakta. Sedangkan para artis yang menolak wawancara
termarjinalkan. Pada rekaman ini pihak selebrita menyatakan bahwa apa yang
mereka lakukan benar, untuk mencari fakta (walaupun kenyataannya tidak selalu
fakta yang mereka sampaikan), ini adalah kebebasan mereka untuk mencari berita.
Tanpa menjelaskan apa yang menyebabkan para artis menolak wawancara, mungkin
mereka lagi lelah habis syuting sampai pagi, mungkin mereka ingin privasi
mereka tidak diumbar, atau mungkin mereka sedang pusing atas masalah mereka.
Bentuk
hegemoni PN Timah yang terjadi di Belitong dijalankan dengan dua cara, yaitu kekerasan
dan persuasi. Cara kekerasan (represif/dominasi)
lebih lebih sering terjadi dibanding cara persuasif dilakukan PN Timah dan
segala perangkat atribut kekuasaanya (Polsus Timah) terhadap strata bawah (kaum
marginal).
Dominasi ekonomi akibat monopoli pengeksplotasian timah telah menjadikan PN
Timah sebagai penguasa tunggal di wilayah Belitong. Kekuatan dan pengaruhnya
mengakar hingga sampai tulang sungsum warga di luar komunitas Gedong. Gedong
adalah representasi dan simbul kekuatan kapital PN Timah. Tembok panjang
pembatas wilayah Gedong dan Urban adalah bukti nyata dari sebuah hegemoni
kekuasaan. Sebagai batas teritorial, tembok-tembok itu dijaga ketat oleh Polsus
Timah, yang tak sembarang orang bisa melewatinya.
Eriyanto. 2011. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar