SEDIKIT PENGORBANAN UNTUK ADIKKU
Sayup-sayup
kubuka mataku.”Mama gimana keadaan Nujan sekarang, apa operasinya berhasil, apa
dia sekarang sudah sadar, dia akan sembuh kan ma?”. Beruntun pertanyaanku
lemparkan kepada mama yang menugguiku disamping bangsal tempat aku terbaring
lemah. Dengan suara yang ditahan-tahan mama berkata “operasinya berhasil, dan
Nujan akan sembuh Dew, Cuma Nujan masih belum siuman.”Ma, aku ingin melihat
Nujan, antar aku keruangannya ma!” pintaku dengan suara yang dibesar-besarkan
sambil menahan rasa sakit. “Tapi Dew, kamu masih sangat lemah, kata dokter kamu
tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu”. “Tidak ma, aku sudah sembuh kok, aku
sangat khawatir dengan keadaan Nujan ma, aku mau menungguinya ma, aku ingin
lihat dia bangun dan tersenyum untukku ma”
Aku
anak ke-2 dari 3 bersaudara, Desy adalah kakakku satu-satunya, dia sudah
menikah. Nujan adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi, karena berkat
pengorbanannya lah aku bisa melanjutkan pendidikanku. Ayahku sudah lama
meninggal, karena tumor ganas yang menyerangnya dibagian leher, ketika aku
berumur 6 tahun dan Nujan masih berumur 4 tahun pada saat itu. Tidak ada
warisan berarti yang ditinggalkan ayah untuk kami, hanya sepetak tanah sawah.
Tak
terasa aku sudah lulus kelas 6 SD dengan peringkat 1 terbaik ditingkat
kecamatanku. Dengan beaya yang pas-pasan aku melanjutkan sekolahku dan masuk
SMP. 2 tahun berlalu, adikku pun lulus SD dengan memperoleh nilai yang sangat
membanggakan sekolah. Namun ditengah keberhasilan itu, mama berucap “nak, Nujan
maukan masuk pesantren? Mama tidak mempunyai cukup uang lagi untuk membiayai
kamu masuk SMP seperti kakakmu Dewi, kalau masuk pesantren kan beayanya lebih
murah. Mama harap kamu bisa mengerti kesulitan mama Nujan, mama tidak mungkin
memutuskan sekolah kakakmu yang sudah kelas 3 dan sebentar lagi dia ujian, mama
juga tidak bisa terlalu berharap banyak dari uang kiriman kakakmu Desy, dia
hanya bisa menyisihkan uang belanja bulanan anaknya untuk kita itupun sudah
alhamdulillah. Tapi nanti kalau mama sudah punya uang cukup, Nujan bisa kok
sekolah seperti kak Dewi”. “ Tidak apa-apa mama, pesantren atau SMP sama saja
kan, yang penting sekolah, Nujan kan laki-laki, nanti kalau Nujan sudah dewasa
Nujan yang akan menghasilkan uang untuk mama, jadi mama tidak perlu lagi
hujan-hujanan jual kue keliling” begitu bijaknya Nujan menyikapi persoalan yang
kami hadapi. Padahal aku tahu Nujan sangat ingin masuk SMP seperti
teman-temannya, Dia sering bercerita kalau cita-citanya adalah ingin menjadi
dokter, biar bisa selalu ada untuk mengobati dan memberikan pelayanan terbaik
pada mama dikala mama sedang sakit.
Ternyata ditengah situasi dan masalah keuangan
yang kami hadapi, Nujan memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia mengatakan ingin
membantu mama untuk membiayai sekolahku, agar aku bisa merubah nasib keluarga
kami. Mama juga terpaksa harus merelakan tanah peninggalan ayah satu-satunya
dijual untuk beaya pendaftaran masuk kuliah yang terbilang mahal ditelinga
kami. Setiap bulan Nujan selalu mengirimkan uang, walaupun hanya sedikit sangat
berarti bagiku yang harus ngkost karena jarak rumah dan tempat kuliah yang
terhitung ratusan kilometer jauhnya. Maklum Nujan Cuma anak remaja lulusan SD
yang tidak mempunyai pengalaman cukup sebagai buruh cuci piring disebuah rumah
makan.
Aku sangat sedih mendengar hal itu, adikku
yang sangat berprestasi dan mempunyai potensi tinggi meraih sukses merelakan berkorban materi dan
pendidikannya demi aku. Mama sering menceritakan kepadaku “Nujan selama bekerja
tidak pernah menggunakan sepeserpun uangnya untuk disisihkan membeli keperluan
pribadinya, seperti yang kamu lihat baju
yang dipakainya itu-itu saja, dia harus berangkat jam 4 subuh mengayuh
sepedanya melawan hawa dingin yang menusuk tulang, bertarung dengan rasa takut
yang merayap dipikirannya. Tiba di rumah saja hari sudah sangat larut malam.
Dia hanya punya sedikit waktu untuk melepas lelah seharian bekerja”. Setiap ku
ingat cerita mama, aku pun menangis. Sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk sedikitpun menyenangkan hatinya selain belajar sungguh-sungguh dan
mendoakannya agar dia selalu diberikan kemudahan dalam segala hal. Tidak jarang
aku sering menangis meratapi keadaan kami yang begitu susah, bahkan aku juga
sering menangis menahan emosi atas ledekan yang dilontarkan teman-teman di
kampus maupun di kost karena aku orang miskin. “Allah selalu bersama
orang-orang yang sabar” kata-kata itulah yang selalu dikumandangkan Nujan dan
mamaku sebagai penyemangat, menjadi pegangan ketika aku mulai rapuh dan
menyerah dalam segala ujian yang aku hadapi.
Waktu
berlalu sangat cepat, aku pun mampu menyelesaikan kuliahku dalam waktu 3,5
tahun dengan camlaude. Aku memboyong kak Desy dengan anak dan suaminya beserta
mama dan Nujan untuk berhadir di acara wisudaku. Aku mengajak mereka berfoto
bersama di iringi linangan air mata, tangis bahagia mama melihat aku berhasil
meraih gelar strata-1 Ekonomi yang sangat aku impikan sejak kecil. Dalam lubuk
hatiku yang paling dalam, aku telah berjanji “apapun akan kulakukan untuk
keluargaku, bahkan nyawaku juga rela aku korbankan demi mereka”.
Tiga
hari selesai acara wisuda, aku langsung diterima bekerja di sebuah Bank atas
pertimbangan nilai akademisku yang di atas stanndar rata-rata dengan gajih yang
lumayan besar. Hingga aku pun mampu memberikan modal untuk adikku membuka usaha
sebagai pedagang pakaian jadi.
Tepat
pukul 12 dini hari, aku mendapat telpon dari kak Desy “Dewi, Nujan masuk rumah
sakit, kata dokter ginjalnya dua-duanya rusak, dan Dia harus segera mendapatkan
donor ginjal”. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit. Sesampainya
dirumah sakit sambil berurai air mata, aku meminta dokter segera melakukan
operasi dan aku bersedia menjadi donor ginjal. “Berapapun beaya operasi
tersebut akan aku usahakan dokter, asal adikku sembuh” rengekku pada dokter
sambil menggoyang tangannya.
Sejam
setelah dicek kecocokkan ginjal, aku pun langsung dibawa keruang operasi.
Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi lagi, karena pengaruh obat bius
yang diberikan dokter. “Nujan harus sembuh, Nujan harus sembuh, Nujan harus
sembuh” itulah yang ada dipikiranku dan selalu terngiang.
Atas
segala alasan yang aku kemukakan, dokter akhirnya mengijinkan aku menemui Nujan
yang terbaring lemah setelah operasi. Walaupun terseok-seok melangkah dibantu
tenaga medis yang ada di rumah sakit, aku meraih tangan Nujan dan memegangnya.
“Nujan adikku, mungkin ini hanya secuil pengorbanan yang bisa aku lakukan
untukmu dari sekian besar pengorbanan yang telah kamu berikan untuk kakak.
Sebesar apapun pengorbanan dan materi yang kak Dewi berikan pada Nujan, tetap
tidak akan bisa membalas apa yang telah Nujan relakan. Begitu juga dengan
jasa-jasa yang telah mama berikan kepada kak Dewi, sampai kapanpun kak Dewi
tidak akan mampu membalasnya.
Aku
kaget mendengar suara Nujan “kak Dewi, makasih ya telah memberikan satu
ginjalnya padaku, Nujan sangat sayang dengan kak Dewi, mama dan kek Desy, jadi
Nujan juga rela melakukan hal yang serupa untuk kalian”.
“Kami
juga sangat sayang pada Nujan” dengan kompak aku, mama dan kak Desy berkata.
“Ya Allah, semoga kami selalu menjadi orang yang selalu saling mengasihi dan
meyayangi, jangan biarkan kami saling bermusuhan, jangan biarkan juga kami
menjadi orang yang tidak bersyukur atas karunia yang Engkau berikan”, doaku
dlam hatti sambil menyeka air mata.Amien.